ExposSumbar , PADANG -- Dunia jurnalistik Indonesia, diserang virus bernama hoax. Virus kabar bohong ini menemukan momentumnya, seiring maki...
ExposSumbar, PADANG -- Dunia jurnalistik Indonesia, diserang virus bernama hoax. Virus kabar bohong ini menemukan momentumnya, seiring makin malasnya wartawan sebagai aktor utama praktek jurnalistik menyajikan berita yang jadi kebutuhan publik serta pasifnya akademisi menyuarakan pendapat akademiknya ke ruang publik.
Demikian benang merah, diskusi publik dalam rangka peringatan Hari Pers 2017 yang digelar Bidang Humas DPP Ikatan Alumni Unand, Minggu (12/2) di Sekretariat DPP IKA Unand, Jl Mangunsarkoro No.11 Padang.
Diskusi ini menghadirkan narasumber, komisioner Komisi Informasi (KI) Sumbar Yurnaldi dan Almudazir (Redaktur Pelaksana HarianHaluan). Acara ini dibuka Sekjen DPP IKA Unand, Prof Reni Mayerni serta dihadiri pengurus lainnya seperti Hary Effendi Iskandar (wakil sekjen), Adrian Tuswandi dan Al Imran (bidang humas dan teknologi informasi).
Menurut Yurnaldi, pemberitaan media harus bisa menginspirasi masyarakat, tidak sekadar informasi yang masuk telinga kiri, lalu keluar telinga kanan. "Jika ini tidak diantisipasi, maka hoax makin merajalela dan kecemasan kita akan kabar bohong ini menggerus nilai-nilai kebangsaan, tak bisa dihambat lagi," terang Yurnaldi yang juga mantan wartawan Kompas itu.
Wartawan, menurut dia, harus terpacu menyajikan informasi terbaik. Jangan jadi corong pemerintah. Mestinya, berita yang disajikan juga dilengkapi perbandingan terhadap fakta di tengah masyarakat. "Beberapa waktu terakhir, hal itu tidak ada lagi. Maka, hoax dijadikan informasi pembanding oleh publik," terang Yurnaldi.
Selain itu, ungkap Yurnaldi, banyak akademisi tak terkecuali di Universitas Andalas, gagap dengan kondisi aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. "Akibatnya, berita menarik sebuah media jadi hambar tersaji, tanpa ada analisis dari pakar dari dunia akademis. Tidak wartawan yang salah, tapi ketidaksiapaan pakar saat diminta untuk memberikan analisanya terkait isue kekinian yang jadi problem utama," ujar Yurnaldi.
Sedangkan soal hoax yang menggurita di lini masa sosial, menurut Yurnaldi, bukan sebuah karya jurnalistik. "Banyak cara untuk mengungkap apakan informasi itu hoax atau tidak. Kembalikan saja ke pakem kode etik jurnalistik dan mekanisme chek and recek, lalu kapasitas sumbernya. Tak mungkin ahli pertanian bicara tentang obat-obatan," tegas Yurnaldi.
Sementara, Almudazir mengakui, ada banyak cara mengantisipasi sehingga informasi hoax tidak meruyak ke tangah masyarakat. "Pertama regulasi dan pengawasan pemerintah harus diperketat lagi dan media massa mau membuka diri untuk menyajikan informasi yang berbasis idealisme jurnalistik," ujarnya.
Terkait minimnya akademisi untuk memberikan pencerahan pada masyarakat, Almudazir ikut merasakannya. "Meminta hasil penelitian dosen saja untuk ditampilkan di koran, sulitnya minta ampun. Padahal, ketika penelitian dipublish ke publik, benefitnya sangat besar," ujar dia.
Sementara, Prof Reny Mayerni mengakui hoax tidak bisa dibiarkan. Alat-alat negara harus berbuat untuk menangkal ini.
"Kalau di Jakarta ada Kementerian Komunikasi Informasi dan di daerah ada Dinas Komunikasi dan Informasi, bekerjalah sesuai regulasi untuk menangkal ini. Jangan biarkan hoax jadi opini publik baru ditangkal," saran Reni.
Terkait minimnya guru besar bicara di media, diakui Reni, tidak terlepas dari beban kerja. "Dosen Unand saya kira tidak ada yang alergi diwawancarai wartawan. Tapi, ya itu tadi, ada beban aturan yang harus dikerjakan. Itu jadi penyebab, agak berkurangnya animo dosen tampil di media," ujarnya.
Sedangkan praktisi pers Sumbar, Al Imran menilai, hoax telah menghujam tepat di ulu hati pers. Kabar hoax telah menimbulkan ketidakpercayaan publik pada produk jurnalistik yang dilahirkan media masa. Padahal, pers itu selama ini disebutkan sebagai pilar keempat demokrasi, yang masih dipercaya publik.
"Hoax menyerang pers hingga keulu hati pers itu sendiri. Mestinya pers melawan gelombang ini dengan menegaskan, produk pers tidak hoax. Pers itu bekerja sesuai kode etik jurnalistik. Kalau pers tidak melawan, maka pers akan berada di titik nadir dan bakal tidak lagi jadi pilar ke empat dari negara demokrasi," ujar Al Imran.
Diskusi yang dimoderatori Adrian Tuswandi yang juga komisioner KI Sumbar mengatakan, "Diskusi ini merupakan yang perdana di awal masa kepengurusan DPP IKA Unand. Bidang Humas berkomitmen untuk melaksanakan minimal satu bulan sekali," ujar Adrian Tuswandi yang juga Humas DPP IKA Unand. (BI/kyo)
COMMENTS